Bertholomeus Jawa Bhaga (Dosen Bahasa Indonesia IKIP Muhammadiyah Maumere.)

Oleh. Bertholomeus Jawa Bhaga, S.Pd.,M.Pd.

Kejadian kekerasan dalam lingkungan sekolah seolah menjadi momok yang tidak ada ujungnya, dari zaman dahulu kala hingga sekarang selalu saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan yang kemudian mengarah pada tindak kekerasan, baik fisik, psikis maupun kekerasan verbal.

Lihat saja, sejak zaman kita SD kekerasan itu telah terjadi. Bukan hanya kekerasan fisik seperti dirotan oleh guru, dicubit jika bandel dan dijewer telinga jika salah menjawab, tetapi kadang perlakuan kekerasan verbal juga dialami. Saya teringat ketika teman saya tidak dapat mengeja huruf demi huruf agar jadi lancar membacanya menjadi sebuah kata, guru bilang : kau ini bodoh seperti b*b*, dan masih banyak contoh lainnya.

Lanjut ke jenjang yang lebih tinggi pun perlakuan kekerasan masih juga terjadi. Kadang semakin ke jenjang yang lebih tinggi kekerasan fisik berangsur-angsur hilang tetapi lebih cenderung ke(pada) kekerasan secara verbal. Entahlah bodoh, tolol, goblok dan lainnya sebagainya menjadi deretan kata-kata yang tidak luput dari telinga kita.

Padahal sebenarnya yang ada dalam sistem pengukuran kemampuan peserta didik sampai dengan saat ini kita pasti sepakat bahwa tidak ditemukan kriteria yang diberi istilah : bodoh, tolol atau goblok, tetapi istilah ini masih menjadi kata-kata mutiara di telinga para peserta didik kita. Dalam kaitan dengan pengukuran kemampuan akhir yang diperoleh peserta didik itu, hanya ditemukan bahwa siswa, atau kelompok siswa tertentu telah tuntas atau telah mampu dalam suatu kompetensi tertentu yang terukur yakni melalui nilai.

Sekarang kita masuk pada fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Bahwa kekerasan yang dahulu biasanya terjadi hanya dialami oleh segenap civitas lembaga tertentu baik kekerasan yang dialami oleh peserta didik yang dilakukan oleh guru maupun kekerasan yang dilakukan oleh sesama peserta didik misalnya perkelahian lambat laun mengarah pada kekerasan antar warga sekolah dengan pihak lain yang bukan warga sekolah seperti kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada guru dan anak sekolah.

Kejadian kekerasan yang dialami oleh guru juga sering terjadi. Banyak pihak luar lebih-lebih orang tua murid atau masyarakat luar yang dengan membabi buta menyerang warga sekolah hanya karena persoalan tertentu. Lihat saja beberapa bulan lalu seorang kepala sekolah harus kehilangan nyawa akibat tindakan brutal dan tidak rasional dalam mencerna laporan anak, dan masih banyak kejadian lainnya yang dapa dijadikan rujukan

Bahwa pihak lain akan berpendapat bahwa pembubaran adalah tindakan yang tepat tetapi ditilik dari aspek pendidikan, psikologi anak-anak dan aspek lainnya maka ini dapat disebut sebagai sebuah tindak kekerasan. Bagaimana jika anak-anak itu dibentak oleh yang bukan gurunya, mereka juga dikejutkan oleh karena hadirnya pihak lain yang ‘asing’ bagi mereka. Itu semua hanya mengundang trauma bagi para peserta didik.

Lingkungan sekolah harus menjadi lingkungan yang merdeka. Tidak boleh ada pihak lain yang masuk hanya untuk memberikan tekanan psikis apapun kepada peserta didik, sekalipun dia itu berpangkat dan lain sebagainya dan fenomena semacam ini sering terjadi padahal itu merupakan sebuah ancaman serius dalam pendidikan.

Peserta didik harus menjadi pribadi yang merdeka ketika mereka sedang belajar (maupun) sedang ujian. Mengapa penulis tambahkan “maupun ujian”? Karena cenderung selama ini ketika ada Ujian Nasional atau apapun istilah yang terakhir dipakai saat ini, kadang para petinggi daerah dan pihak-pihak yang tidak “berkepentingan dengan UN” selalu ikut campur urusan pendidikan dan tidak pada tempat dan waktunya. Bayangkan peserta didik sedang mengikuti UN, berpikir keras menyelesaikan soal diwaktu bersamaan harus dihebohkan dengan masuknya pihak lain ke dalam kelas untuk sekedar basa basi meninjau ujian dan berakhir dengan foto selfie, ini sungguh sebuah pemandangan yang lucu, menggelikan dan ironis. Mengapa? Karena psikologi peserta didik akan terganggu oleh karena kecerobohan yang model seperti ini. Peserta didik menjadi terganggu, gugup bahkan tidak nyaman mengikuti ujian.

Dalil apapun untuk mencari pembenaran tidak dapat diterima karena lingkungan pendidikan tidak membolehkan adanya kekerasan. Misalkan karena menegakan prokes lalu memberikan hukuman fisik kepada anak, lantas yang menjadi pertanyaan adalah adakah wewenang pihak lain selain pihak sekolah untuk membina peserta didik sebuah sekolah tertentu di lingkungan sekolahnya?.

Kita masih ingat bahwa pemberian penguatan (reinforcement) dalam dunia pendidikan dari dulu hingga sekarang mesti terus menerus mengalami perubahan. Jika dahulu yang belum tertib atau yang belum benar menjawab pertanyaan guru adalah dengan dirotan maka sekarang penguatan negatif tidak seperti itu tetapi lebih kepada memberikan tugas tambahan atau bacaan tambahan. Dan jika peserta didik telah mampu atau benar dalam menjawab soal tertentu akan mendapatkan penguatan (reinforcement) positif berupa pujian, bahkan hadiah sebagai motivasi untuk terus belajar dan motivasi bagi peserta didik yang lain agar terus berusaha.

Yang menjadi pertanyaan adalah : ketika dihukum fisik di lapangan seperti yang telah terjadi apakah bentuk ini masuk pada penguatan yang model mana? Sedangkan sekolah tentu sangat hati-hati ketika memutuskan untuk menyelenggarakan pembelajaran di tengah pandemi dengan memerhatikan dan menerapkan manajemen keselamatan warga sekolah misal mengurangi jumlah siswa tiap kelas, mencuci tangan dan tentu jarak diperhatikan.

Untuk itu,apapun alasannya, kekerasan berupa hukuman fisik dan kekerasan verbal tidak dibolehkan terjadi di lingkungan sekolah apalagi bukan oleh pihak yang berwenang mendidik dan membina peserta didik karena kewenangan suatu pihak tertentu dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Sekian

Penulis adalah mantan guru
Tinggal di Maumere.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *